Papua Barat dan Bahaya Perkebunan Kelapa Sawit


Telah menjadi komitmen bersama pada tingkat kelompok dan individu pemerhati lingkungan, bahwa apapun bentuk dan konsep pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam skala besar dan bertujuan ekonomi, pasti berimplikasi pada rusaknya ekosistem dan kesengsaraan masyarakat asli.Apalagi kalau tidak diurus secara benar, ditambah lemahnya kemauan pemerintah untuk melakukan monitoring dan evaluai secara berkala.

Dalam konteks ini juga, hendaknya keberadaan perkebunan kelapa sawit juga dipandang sebagai ancaman bagi keberadaan ekosistem hutan hujan tropis di Papua.

Mengikuti arus debat publik ( pendapat) yang dilansir beberapa media massa lokal dari para pemerhati lingkungan, MEDCO dan pejabat pemerintah di daerah ini tentang pembukaan perkebunan kelapa sawit oleh PT MEDCO, belum sampai pada aras yang mendidik rakyat. Isi dari pernyataan yang dikeluarkan belum membawa arah pikir rakyat pada kondisi keberadaan perkebunan kelapa sawit berkenaan dengan ancaman perlindungan hutan dan tanah. Artinya bahwa informasi yang mendidik dan membebaskan belum juga diberitakan, agar rakyat nantinya mampu menyatakan pendapatrnya secara lugas tentang Ya atau Tidak untuk kehadiran perkebunan ini. Sebab perkebunan monokultur yang menggunakan lahan primer ratusan hektar, akan melahirkan dampak ekologi dan sosial budaya.

Selama ini kita telah melihat dan mendengar dengan jelas akibat yang ditimbulkan. Sebut saja kebakaran hutan jutaan hektar, tanah longsor dan erosi, deforestrasi, jutaan kubic limbah yang dibuang ke alam sehingga tanah dan perairan menjadi tidak produktif, terusirnya masyarakat adat dari tanahnya, pelanggaran HAM, dan masih banyak lagi.

Menghitung keuntungan ekonomi dari kelapa sawit, dengan rumus dan teori apapun dalam konteks pencadangan sumberdaya alam, tetap akan memperlihatkan nilai kerugian yang lebih besar. Sebab rehabilitasi kehancuran alam secara alami tidak masuk dalam mekanisme pasar. Ini menandakan bahwa, cadangan sumberdaya alam yang mampu disediakan oleh alam, tidak akan pernah mampu untuk memenuhi kebutuhan pasar, jika tidak dikelola secara arif. Kemampuan produksi alam, tetap tidak akan pernah berjalan sesuai dengan tuntutan pasar. Tetapi tuntutan pasarlah yang akan menggiring perluasan eksplotasi sumberdaya alam sampai pada tingkat tertinggi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kaum environmentalisme, menghendaki penggunaan biofuel (al, minyak sawit) untuk menggantikan bahan bakar fosil (mineral dan galian), karena biofuel ramah lingkungan. Juga bahwa pasar minyak sawit mentah (crude palm oil) harganya sangat kompetitif di pasar dunia di banding petroleum. Satu hektar kelapa sawit dapat menghasilkan 5.000 – 6.000 kg minyak mentah. Harga minyak ini mencapai lebih dari 400 USD per ton kubik atau sekitar 54 USD perbarel. Bandingkan dengan harga minyak mentah (petroleum) yang hanya mencapai 70 USD perbarel. Pada tingkat ASEAN, negara yang dapat menyaingi Indonesia (2,9 juta hektar) dalam minyak sawit hanya Malaysia (3,3 juta hektar) di tahun 2003.

Nilai ekonomi yang besar dari produksi minyak mentah sawit, kemudian secara langsung menarik minat pemerintah untuk melakukan perluasan lahan perkebunan setelah harga bahan bakar fosil mengalami fluktuasi di tingkat pasar dunia. Tapi ironisnya wilayah-wilayah yang diperuntukan pemerintah untuk pengembangan tanaman ini adalah hutan konversi. Tentu saja peruntukan lahan dari pemerintah sangat menarik minat investor. Karena pada waktu pembukaan lahan, pihak perusahaan dapat langsung memanfaatkan kayu dengan cara mengurus ijin pemanfaatan kayu – IPK dari Dinas Kehutanan langsung.

Dengan berasumsi pada mayoritas kebijakan pemerintah yang menguntungkan investor dari pada rakyatnya, kita dapat menggunakan daerah Kalimantan sebagai contoh pengelolaan perkebunan kelapa sawit: ”Dengan luasan kawasan hutan di Kalimantan Barat sekitar 14,694,302.180 ha yang menjadi andalan retribusi kehutanan di Kalimantan Barat, telah hilang dan habis digunakan sebagai perkebunan sawit yang luasan sekitar 7,067,711 ha. Dari data perkebunan sawit tahun 2005 yang berarti hilang sekitar 50% retribusi kehutanan. Dengan rata-rata perkebunan besar kelapa sawit menggunakan pola 7 (Inti/perusahaan) berbanding 3 (petani/plasma), maka luasan perkebunan sawit sekitar 7,067,711 ha yang dikuasai oleh perusahaan ialah sekitar 4,947,397.7 Ha, sedangkan pemilik petani seluas 2,120,313.3 ha. Dengan pola pembagian ini, banyak dari lahan plasma yang tidak diurus sendiri oleh petaninya dan juga tidak terurus oleh manajemen perusahaan, sehingga sawit milik plasma cenderung merupakan jenis tanaman seperti hutan liar kelapa sawit. Ini dikarenakan hasil panen yang diperoleh tidak mendapatkan keuntungan yang berarti bagi petani dengan pola yang diterapkan oleh perusahaan dan sistem pengkreditan yang secara terus-menerus diumpan kepada petani (baik infrastruktur maupun kesuburan tanaman). (Sawit Watch Online)

Belajar dari kasus Kalimantan Barat, kita dapat bertanya ”Bagaimana model pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Manokwari ?” Coba hubungkan dengan pola manajemen pengelolaan pada perkebunan sawit di daerah ini (dataran Warmare). Siapa yang diuntungkan. Apakah masyarakat pribumi atau pihak lain. Bagaimana dengan produktivitas lahan pada kebun-kebun yang sudah tidak produktif, siapa yang bertanggungjawab untuk peremajaan tanah Keinginan untuk menjadi negara pengekspor CPO terbesar di dunia dibanding rivalnya Malaysia, lebih menjadi pertimbangan politik pemerintah dibanding mengelola sumberdaya alamnya secara ramah untuk tabungan anak-cucu pewaris bangsa.

Sejarah invetasi membuktikan bahwa di bawah dekade 1990 an, Indonesia pernah berjaya di pasar dunia dengan produksi bahan bakar fosil dan bahan galian lainnya. Namun kesejahteraan rakyat yang diamanatkan kontitusi tidak pernah diurus dengan baik oleh aparatus negara.

Hasil study dari Sawit Wach menyebutkan dampak negatif perkebunan ini berdasarkan pengalaman-pengalaman pada daerah lain, antaranya :

  1. Persoalan tata ruang, dimana monokultur, homogenitas, dan over loads konversi. Hilangnya keanekaragaman hayati akan menimbulkan kerentanan kondisi alam berupa menurunnya kualitas lahan disertai erosi, hama dan penyakit.
  2. Pembukaan lahan sering dilakukan dengan cara tebang habis dan land clering dengan cara pembakaran demi efisiensi biaya dan waktu
  3. Kerakusan unsur hara dan air tanaman monokultur seperti sawit. Dimana dalam satu hari satu pohon sawit menyerap 12 liter air (hasil penelitian Universitas Riau). Disamping itu, pertumbuhan kelapa sawit harus diransang dengan berbagai macam zat fertilizer seperti pestisida dan bahan kimia lainnya
  4. Munculnya hama migran baru yang sangat ganas, karena jenis hama ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lain. Ini disebabkan karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokulturasi
  5. Pencemaran yang diakibatkan asap dari pembukaan lahan dengan cara pembakaran dan pembuangan limbah, merupakan cara-cara perkebunan meracuni makhluk hidup dalam jangka waktu yang lama
  6. Terjadinya konflik horizontal dan vertikal akibat masalah perijinan lahan dari pemerintah dan status kuasa adat atas tanah
  7. Praktek konversi hutan alam skala besar seringkali menjadi penyebab utama erosi, tanah lonsor dan kelangkaan sumber air bersih.

Dari gambaran tersebut, berapa besar biaya yang mesti dicadangkan oleh suatu korporasi dan pemerintah untuk mengaktisipasi dampak-dampak negatif yang akan muncul, setelah mereka telah selesai menghitung pendapatan bersih dari nilai jual minyak sawit di pasar. Apakah masyarakat pribumi akan diuntungkan dengan pola plasma ? Sedangkan untuk melakukan aktivitas perkebunan sawit memerlukan biaya dalam manajemen yang tinggi dan menggunakan teknologi genetika yang berpedoman pada sistem ’revolusi hijau’ tanaman.

Sehingga sejatinya tanaman sawit hanya diperuntukan untuk perusahaan sekelas BUMN, BUMD dan perusahaan swasta nasional maupun asing yang mempunyai modal besar, memiliki teknologi penerapan baru dan tenaga ahlinya berasal dari luar. Artinya bahwa manajemen kelola perkebunan kelapa sawit yang didengungkan menggunakan pola Plasma dan Inti, bagaimanapun juga tidak cocok dalam konteks masyarakat pribumi Papua.

Inti dari pola pertanian masyarakat Papua mengandung nilai kepemilikan komunal. Nilai ini mengatur tentang bentuk kepemilikan dan pengelolaan bersama. Dimana satu kelompok akan dibantu oleh kelompok lainnya yang terdekat secara genetis dan wilayah. Jelasnya bahwa petani lokal yang mendapatkan kebun sawit (plasma) harus mampu mengelola kebunnya menggunakan kaidah-kaidah korporasi agar mampu memenuhi standarisasi mutu dan produksi dari perusahaan (Inti). Dan kemudian mengesampingkan prinsip pengelolaan dan pemanfaatan bersama antar mereka berdasarkan asas kekeluargaan. Pada beberapa tempat, para petani biasanya terjerat mekanisme kredit dari Inti dan perbankan dalam pengelolaan kebunnya.

Kondisi ini terjadi karena pola manajemen kebun yang bersifat kekeluargaan, tidak mampu menyumbang dalam bentuk modal, teknologi untuk pembelian pupuk dan obat-obatan, dan perawatan tanaman. Kejadian ini sebenarnya tidak merujuk pemberdayaan petani plasma, tapi lebih pada nilai eksploitatif, ketergantungan petani plasma pada inti untuk aspek produksi, dan membangun pola tuan (Inti) dan buruh (Plasma).

Pada komunitas adat, ketika nilai genetis dan kesamaan wilayah adat sebagai pengikat kontrak sosial telah terputus, maka pada saat itulah konflik-konflik sosial akan muncul dari benih-benih kecemburuan sosial dan mempertanyakan kembali pelepasan tanah perkebunan kepada perusahaan dan pemerintah berdasarkan sistem kuasa adat. Paskah produksi pada kebun-kebun sawit, sudah tentu akan meninggalkan jutaan hektar lahan yang tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat pribumi untuk bertani. Sebab untuk mengelolanya membutuhkan biaya besar dan tekonologi tinggi untuk peremajaan tanah, pembelian bibit, obat dan pupuk. Artinya bahwa untuk menggarap lahan bekas perkebunan sawit, rakyat yang miskin harus membutuhkan biaya yang besar untuk membayar tenaga ahli pertanian, dan membeli bibit-pupuk-dan obat anti hama kepada perusahan-perusahaan besar juga.

Pembukaan lahan jutaan hektar dengan cara penebangan hutan dan penggunaan zat-zat kimia (pestisida, insektisida, herbisida, dan pupuk kimia-petroleum), menyatakan bahwa keberadaan perkebunan sawit tidak hanya berdampak pada polusi dan rusaknya ekosistem lokal saja. Namun juga berkontribusi pada emisi gas rumah kaca dan menambah pundi-pundi uang konglomerat. Limbah sisa pengolahan buah sawit dalam bentuk limbah minyak padat, fiber kelapa dan batok, serta sisa minyak kelapa (campuran polusi dari batok yang hancur, air dan residu lemak) akan menyumbang kepada rusaknya ekosistem akuatik. Tanah akan kehilangan nutrisi, terutama pada lingkungan yang mengandung asam. Setelah 25 tahun masa panen, lahan kelapa sawit akan ditinggalkan begitu saja tanpa perlakukaan khusus dari perusahaan perkebunan, sehingga menjadi semak belukar yang ditumbuhi rumput dan alang-alang yang mudah terbakar.

Berhubungan dengan penggunaan herbisida, Menteri Pertanian Indonesia, Bungaran Saragih, mengakui bahaya yang ditimbulkan dalam penggunaan herbisida di perkebunan kelapa sawit. Terdapat sekitar 25 jenis pestisida yang berbeda yang digunakan di perkebunan kelapa sawit. Tetapi, karena tidak adanya pengawasan dan dokumentasi yang baik, pemantauan terhadap penggunaannya masih sulit dilakukan. Dari 25 jenis pestisida, terdapat 2 jenis sering di pakai oleh perkebunan kelapa sawit di Indonesia yaitu Paraquat Dichloride (nama Indonesia Gramoxone) dan Glifosat. Paraquat adalah bahan pemusnah ilalang yang sangat beracun ini umum digunakan di perkebunan-perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara. Zat yang dikandungnya sangat berbahaya apabila terhirup, tertelan atau terserap melalui kulit. Sampai sekarang belum ada penawar terhadap racun paraquat. Terdapat gejala keracunan paraquat yang muncul meliputi mimisan, iritasi mata, infeksi kulit, iritasi kulit dan melepuh, warna kuku memudar atau kuku yang mudah copot, dan perlukaan daerah perut. Sama halnya dengan paraquat, glifosat juga adalah zat pemusnah ilalang yang sangat efektif, dampaknya bagi manusia adalah gangguan kehamilan (keguguran) dan berbahaya bagi plasenta manusia.

Menurut laporan Friends of Earth, pemerintah Indonesia pada tahun 1990an memiliki rencana ambisius untuk membuka lahan perkebunan sawit seluas 9,13 juta hektar. Indonesia akan melipat gandakan produksi minyak sawit mentah pada tahun 2025. dan proyek ini nantinya akan mempekerjakan 400.000 tenaga kerja dengan jumlah pemasukan bagi negara tiap 45 juta USD.

Kita perlu melihat lebih jauh kebijakan pemerintah untuk ijin pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit dengan menghubungkan antara kelayakan kondisi kawasan (topografi, iklim, dan sejenisnya) dan penetapan kawasan yang masih mempunyai tutupan hutan lengkap (al, hutan konversi, hutan produksi, hutan lindung, dan cagar alam). Ada apa dibalik itu ? Kenapa bukan lahan sisa HPH yang digunakan, tetapi malahan melakukan pembukaan hutan yang baru. Apakah murni untuk tujuan kelapa sawit saja, ataukah juga untuk penguasaan hasil hutan kayu. Artinya sekali membuka lahan, kayunya diambil untuk dijual, terus tanam kelapa sawit. Atau kita juga dapat bertanya, hasil penebangan kayu akan dikuasai siapa ? Apakah masyarakat adat, pemda, atau pihak perusahaan.

Melihat dampak keberadaan perkebunan kelapa sawit, sejatinya wilayah kepala burung harus dilindungi mulai sekarang. Karena pada wilayah ini terdapat area-area konservasi yang menjadi ruang hidup yang tersisa dan cukup baik bagi kehidupan alam liar dan manusia. Sebut saja TNL Raja Ampat, TNL Teluk Cendrawasih, Cagar Alam Jamursba Medi, Cagar Alam Pegunungan Arfak, Cagar Alam Tamraw Selatan, dan Hutan Lindung Teluk Bintuni.

Penentuan areal konsesi perusahaan kelapa sawit akan memicu eksploitasi sumberdaya alam dan tanah yang lain di sekitar areal konsesi. Dampak awal yang muncul adalah terjadi arus migrasi dan in-migrasi penduduk ke wilayah tersebut dan memunculkan pembukaan lahan yang semakin besar untuk pembuatan jalan, pemukiman, pertanian, dan peruntukan lainnya di sekitar lokasi perkebunan.

Bagaimana dengan kesiapan Pemda, berhubungan dengan rencana kelola tata ruang wilayah dan perlindungan wilayah-wilayah sumber air. Sebab dokumen analisis tentang dampak lingkungan (AMDAL) yang akan dibuat pihak perusahaan, bukan jawaban akhir mengurus persoalan manajemen pengelolaan lingkungan dan sosial yang arif untuk meminimalisir ancaman kerusakan hutan hujan dan penghormatan hak-hak hidup penduduk pribumi. Dokumen tersebut tidak mampu menghitung nilai kerugian yang akan menimpa warga pribumi karena kehilangan akses emosional mereka dengan alam (hutan dan tanah). Juga tidak mampu menghitung dampak hilangnya harmoni hidup antara kehidupan liar dengan habitatnya.

Urusan pengelolaan dampak lingkungan dari perkebunan ini, bukan bicara tentang ketentuan regulasi. Tetapi harus bicara tentang kesadaran untuk melihat berapa hutan yang masih tersisa di Papua dan kearifan untuk tidak menghabiskan kekayaan titipan anak cucu. Sebelum para pihak pemangku kepentingan berjalan terus memperdebatkan boleh dan tidaknya perkebunan kelapa sawit di Manokwari, menurut penulis terdapat beberapa hal yang mestinya dapat didiskusikan secara serius.

Hal-hal tersebut berhubungan dengan pra-Syarat Hidup yang harus dipenuhi untuk pengelolaan suatu sumber daya alam:

  1. Kemampuan Layanan Alam Bagi Manusia dan Makhluk Hidup Lainnya. Alam tetap terjaga dalam kondisi kesatuan sistem ekologis yang baik untuk mampu memenuhi kebutuhan manusia. Dalam konteks ini, ranah politik dan sosial mestinya menjadi bingkai diskusi, karena berhubungan dengan kuasa mengatur ketersedian dan pencadangan sumber-sumber penghidupan dari alam dan akses rakyat terhadap sumberdaya alamnya. Wilayah-wilayah yang secara ekologis memiliki fungsi penyedia sumber penghidupan (pangan, air, obat-obat, tempat keramat, dan memiliki ekosistem spesifik) harus dijaga keberadaannya. Sebab urusan kemampuan layanan alam, tidak diukur dari besarnya nilai rupiah yang didapat masyarakat adat dari melepaskan tanah dan hutannya
  2. Keselamatan dan Keamanan Rakyat. Makhluk hidup, terlebih manusia harus dipastikan dapat berinteraksi (termasuk akses) secara langsung dengan alamnya dalam kondisi yang aman dan selamat (sehat). Bebas dari tindakan diskriminatif di depan hukum, ada perlindungan atas hak-hak hidupnya berkenaan dengan kuasa adat (ulayat) atas tanah dan kekayaan alam, dan tidak ada tindak anarkhis negara kepada rakyat yang menuntut hak dasarnya
  3. Produktifitas Rakyat. Terjadi peningkatan produktifitas dalam konteks ekonomi dan sosial budaya (reproduksi sosial) dari masyarakat dan pembaruan ruang dan tata ekologi bagi kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Intinya bahwa reproduksi sosial dari masyarakat pribumi yang bermukim di sekitar lokasi konsesi harus mengalami peningkatan ke arah yang lebih baik dari setiap tahapan generasi. Peningkatan ini harus tidak berlangsung secara intan, tetapi terencana dalam satu kesatuan ruang hidup dan generasi. Dan jaminan memperkecil dampak berganda dari kerusakan yang dihasilkan kepada alam.

Menurut hemat penulis, ketiga prasyarat inilah yang layak untuk didiskusikan di ruang publik. Bukannya mendiskusikan kewajiban yang harus dipenuhi investor berkenaan dengan syarat-syarat yang termaktub dalam sistem regulasi. Sebab dalam regulasi pemerintah, telah jelas sanksi dan aturannya. Usaha mendorong terpenuhinya tuntutan regulasi dalam kondisi pelayanan pemerintah yang setengan hati kepada rakyatnya, hanya akan menambah sejarah carut marut manajemen pengelolaan lingkungan negara ini.

Kondisi pemerintah yang tidak taat hukum, dan cenderung menggunakan hukum untuk mempertahankan kepentingan politik dan ekonomi, tidak akan memperlihatkan grafik dampak yang signifikan bagi perbaikan lingkungan dan masyarakat. Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan secara ekonomi dari tuntutan regulasi, dan siapa yang dirugikan secara ekonomi juga ketika investor telah memenuhi syarat regulasi untuk menyediakan dokumen-dokumen pendukung, tetapi lingkungan tetap rusak juga. Kiranya kita jangan lupa, bahwa meskipun perusahaan mempunyai kewajiban sosial kepada rakyat di sekitar lokasi konsesinya, tetapi ia tetap pada tujuan utamanya ”bussines oriented” dan ”profite oriented”. Pemerintah tetap akan berusaha mengedepankan aspek security (keamanan) untuk meminimalisir ”Country Risc” suatu wilayah, termasuk di dalamnya kepastian hukum dalam urusan agararia guna memenuhi tuntutan investor.

Bicara perkebunan sawit, secara langsung harus bicara juga tentang proses pelepasan tanah (hukum pemerintah dan aturan adat) dan hak kuasa atas tanah setelah ijin konsesi perusahaan berakhir. Sampai saat ini, publik belum tahu tentang mekanisme pengurusan pelepasan tanah dari masyarakat adat kepada investor dan peran fasilitasi oleh pemerintah. Adalah wajib kita bertanya kepada pemerintah tentang mekanisme seperti apa yang dipakai :

  1. Apakah masyarakat adat Arfak sebagai pemilik tanah adat diberikan ruang dan kesempatan yang besar untuk mendapatkan informasi yang cukup tentang dampak positif dan negatif dari perkebunan monokultur (al, kelapa sawit), berdiskusi antar sesamanya, kemudian mengambil keputusan untuk mengatakan “Ya” dan “Tidak”
  2. Apakah masyarakat diberi kebebasan untuk memilih pendampingan dari lembaga hukum yang independen dan mempunyai kredibilitas guna mencermati hukum investasi dan hukum agraria, agar nantinya keputusan adat yang dibuat masyarakat tidak dinilai sebagai anti pemerintah dan anti pembangunan
  3. Apakah masyarakat adat telah diberikan pengetahuan yang cukup untuk menghitung nilai ekonomi sumberdaya alamnya yang berada di wilayahnya, sebelum dilepas kepada pihak perusahaan, agar proses ganti rugi (kompensasi) yang diberikan kepada mereka nantinya mampu memberikan nilai ekonomi yang pantas
  4. Ketika proses jual beli tanah berlangsung, apakah masyarakat diberikan ruang yang aman, tenang, dan jauh dari intervensi negara untuk melakukan tawar menawar tentang harga jual tanah, hak akses adat ke lahan, jaminan sosial dan jaminan hidup ke depan dari pemerintah dan perusahaan
  5. Apakah pemerintah pernah berpikir untuk mendorong harga jual tanah (termasuk sumberdaya alam yang terkandung didalamnya) mencapai nilai rasional secara ekonomi, dan kemudian mencadangkannya sebagai bentuk pengikutsertaan modal usaha dari masyarakat adat pemilik tanah dalam pengelolaan perkebunan.
  6. Siapa yang memiliki hak kelola (termasuk kepemilikan) dan kuasa atas lahan-lahan sawit, ketika perusahaan habis masa operasinya dan kebun-kebun sawit masuk usia tidak produktif (25 tahun)
  7. Ketika terjadi pembukaan hutan kayu skala besar untuk perkebunan kelapa sawit dan tanaman monokultur lainnya, apakah pemerintah mempunyai rencana strategis untuk melindungi hutan hujan yang tersisa di Papua dan menggantikannya dengan ruang-ruang penghidupan yang layak kepada masyarakat pemilik hak adat dan komunitas lainya yang tinggal di sekitar wilayah konsesi
  8. Ketika produksi mulai berjalan, berapa keuntungan pemerintah (Pemda) yang harus dikembalikan kepada rakyat di sekitar areal konsesi dalam bentuk pembangunan untuk pemenuhan hak-hak dasar mereka atas pangan, air bersih, kesehatan (termasuk kesehatan reproduksi perempuan), pendidikan, kepastian (keadilan) hukum, dan jaminan sosial: a). Wilayah-wilayah mana di kabupaten dan propinsi ini yang akan dicadangkan sebagai : Wilayah hidup masa depan; b).c). Wilayah peruntukan untuk pemulihan ekosistem; d). Wilayah kelola bersama. Wilayah tabungan untuk anak cucu;

Kalau tujuan suci Pemda dengan memasukan perkebunan kelapa sawit, sebesarnya untuk kesejahteraan rakyat, hendaknya pertanyaan-pertanyaan di atas dijawab dengan serius dan dibuka ke ruang publik. Sebab kalau tidak pemerintah akan mengulangi kejadian serupa pada kasus jual beli tanah pada tahun 1997 antara masyarakat adat suku Simuri (Teluk Bintuni) dengan pihak Pertamina. Dimana untuk tanah di daerah pesisir pantai, Pemda menggunakan standar tanah pedalaman dengan menggunakan produk hukum kabupaten Manokwari (Perda) menetapkan harga dasar tanah Rp 30,- / M2 menjadi Rp 15,- / M2 untuk tanah seluas 3.266 bagi keperluan pembangunan kilang LNG Tangguh di kampung Tanah Merah – Babo – Teluk Bintuni. Urusan menjawab pertanyaan di atas, tidak terletak pada benar dan tidak jawaban yang diberikan pemerintah dan perusahaan. Tapi bagaimana kesungguhaan untuk melihat perkebunan ini mendatangkan implikasi posistif dan negatif pada lingkungan, masyarakat dan pemerintah daerah. Dan kemudian menganalisis manfaat ekonominya bagi rakyat berbanding nilai kerusakan yang ditimbulkan.

Urusan eksploitasi sumberdaya alam bagaimanapun juga akan berpeluang pada kerusakan ekologis dan keterpurukan hidup komunitas pribumi, jika mereka belum siap bersaing dalam mekanisme pasar. Upaya nyata dari pemerintah sebagai pemegang amanat mengurus kehidupan rakyat yang adil dan sejahtera, harus diperlihatkan secara sungguh-sungguh. Sebab hitungan pajak pendapatan pemerintah daerah akan selalu naik seiring naiknya produksi minyak sawit. tetapi tanggungjawab sosial perusahaan kepada perbaikan kondisi hidup masyarakat dan lingkungan, tidak akan pernah naik seiring naiknya harga jual CPO di pasar dunia. Kalau persoalan tanah dan pemiliknya (masyarakat adat) tidak diselesaikan melalui mekanisme hukum yang transparan, dimana pihak perusahaan (pembeli) dan masyarakat adat Arfak (pemilik) didudukan secara sejajar dan sama haknya di depan hukum, maka pemerintah akan meninggalkan bibit-bibit masalah agraria yang baru lagi di daerah ini.

Akhirnya sebelum akar kelapa sawit mencengkeram perut ibu tanah Papua, kita perlu merenung untuk bertanya yang terakhir kali, bahwa kalau kelapa sawit di daerah ini diproduksi untuk tujuan bahan bakar nabati – biofuel, siapakan yang diuntungkan. Padahal negara Indonesia dan rakyat Papua bukan penghasil dan pemegang merek dagang otomotif Toyota, Mitsubishi, Honda, suzuki, Opel, Yamaha. Nisan, Kawazaki, Renault, Caterpilar, Komatsu, dan lainnya. Bukankah pengguna kendaraan bermotor dan pemilik depot BBM adalah orang berduit, bukan orang Papua kebanyakan. Lalu siapakah yang diuntungkan mendapat manfaat ekonomi dan politik terbesar dengan keberadaan perkebunan kelapa sawit di Manokwari ?

[Data dan informasi dari berbagai sumber, al: Sawit Watch,..]

11 thoughts on “Papua Barat dan Bahaya Perkebunan Kelapa Sawit

  1. pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di Papua Barat masih dapat di katakan Mandeg karena ternyata PTPN II Prafi saat ini sedang menjalani proses penjualan aset ke Pemda. masih simpang siurnya informasi terkait penjualan aset tersebut telah membuat internal managerial PTPN II mengeluarkan surat edaran yang cukup seram, kira-kira ini isinya: bila staf atau karyawan ada yang membocorkan hal atau dokument perusahaan tanpa sepengetahuan direksi, maka akan dikenakan sanki, dan kepada yang melaporkan karyawan atau staf tersebut dengan disertai bukti bahwa hal tersebut memang dilakukan maka akan mendapatkan rewards dari perusahaan. ini adalah indikasi tertutupnya informasi dari perusahaan (setempat-di prafi) jika tidak mendapat persetujuan dari Direksi Pusat di Tanjung Morawa, Medan.

    walhasil, dari luasan konsesi yang diberikan oleh pemerintah saat ini jumlah yang terkelola dengan baik sangat minim, belum lagi saat ini menjelang proses replanting. ini kondisi pada kebun inti, kebun plasma?lebih parah lagi karena tunggakan kredit untuk skema plasma awal saja masih belum lunas terbayarkan, lalu bagaimana dengan proses replanting petani?

    sedih memang, ketika tidak hanya orang papua namun juga transmigran dan masyarakat pendatang yang hanya menggantungkan hidupnya dari Perkebunan (terutama Petani dan buruh kebun) harus mengubur mimpi kesejahteraan mereka di tanah ini.

    salam,

    carlo Nainggolan

  2. I hardly drop comments, however i did some searching and wound up here Papua Barat dan Bahaya
    Perkebunan Kelapa Sawit | GreenInTsiA. And I actually do have 2 questions for you if you tend not to mind.
    Is it just me or does it seem like some of these comments appear
    like written by brain dead people? 😛 And, if you are posting on other places, I’d like to keep up with everything fresh you have to post. Would you make a list of all of your community pages like your Facebook page, twitter feed, or linkedin profile?

  3. You actually make it seem really easy together with your presentation however I in finding this topic to be actually one thing that I
    believe I would never understand. It seems too complex
    and extremely huge for me. I’m having a look forward on your next post, I will attempt to get the dangle of it!

  4. Wonderful items from you, man. I have consider your stuff prior to
    and you’re just extremely great. I really like what you have acquired right here, certainly like what you’re stating and
    the way during which you are saying it. You are making it enjoyable and you still care for to stay it sensible.
    I cant wait to read far more from you. This is actually a terrific site.

Leave a reply to h0404055 Cancel reply