.., dengarlah untuk yang terakhir.


“Pegunungan ini telah berada di sini lama sekali.., begitu juga kami. Kau tidak bisa memerintah pegunungan. Kau harus belajar mendengarkan mereka. Jadi, kini aku memintamu untuk mendengarkanku.” (Percakapan Haji Ali dan Greg Mortenson dalam “Amira and Three Cups of Tea”)


Buat kamu dan mereka yang kesal dengan sikap dan perilakuku:

Awalnya dialog itu terjadi di lembah pegunungan Karakoram – desa Korphe di negara Pakistan.

Ketika itu Greg merasa kuatir dan sedikit marah dengan perilaku penduduk desa Korphe yang tidak pernah taat kesepakatan bersama, dan sering menunda-nunda pekerjaan membangun sekolah untuk mereka sendiri atas dukungan biaya dari The Central Asia Institute – CAI.

Sebuah pelajaran penting bisa aku petik dari penggalan dialog di atas. Terlepas konteks dialog itu berbeda dari apa yang aku alami sendiri.

Hikmah yang bisa dipetik adalah:
kalau kita berniat membuat sesuatu yang baik dan berarti untuk orang lain,
hendaknya kita mau berlaku sabar dan bisa belajar memahami karakter dan
kemauan orang tersebut. Janganlah kita terus memaksakan kehendak sendiri.
Apalagi meninggalkan harapan-harapan mereka,
setelah kita awalnya bersama mereka membangun harapan-harapan itu. 

Sama halnya dengan itu, untuk memberikan arti positif kepada sifat manusia “yang selalu ingin tergesa-gesa” dalam semua perkaranya, ada hal yang inging aku katakan: tergesa-gesa bukan berarti tidak baik. Tapi tidak tergesa-gesa adalah lebih bijaksana.

Jadi teringat juga dengan ungkapan tulus seorang perempuan yang mengabdikan dirinya untuk menolong orang-orang yang ‘miskin yang termiskinkan,’ Madam Theresa dengan ordonya Sister of Charity.

Ungkapan dari Madam Theresa coba aku bahasakan dalam pengkalimatanku sendiri, “apa yang aku lakukan.., bagaikan tetes-tetes air di laut, tapi laut tidak akan pernah menjadi laut, jika tak terisi dengan tetes-tetes air.”

Terkadang.., banyak orang selalu menilai, bahwa indikator sebuah keseriusan dan komitmen, harus terucap secara lisan dan dibuktikan dengan tindakan yang nampak. Juga orang selalu menggunakan satuan waktu untuk menjadi alat ukur pencapaiannya.

Kenapa sesuatu yang besar – terlihat – dan terukur, dan berbau perhitungan matematis selalu menjadi terdepan dalam hidup? Naah.., bagaimana untuk sesuatu yang tidak bisa dibuat besar – terlihat – terukur – dan berbau matematis?

Bagaimana dengan hal-hal kecil yang menjadi pembentuk semua yang besar. Juga bagaimana dengan hal-hal paling kecil yang membentuk semua yang kecil. Bagaimana juga dengan niat dan perasaan untuk membentuk hal-hal: paling kecil – kecil – besar – dan paling besar.

Pada percakapan Haji Ali dengan Greg di lain waktu tentang jadwal pembangunan sekolah yang selalu molor, ada makna kesabaran yang aku petik dari mereka. “…, bahwa aku telah terbiasa dengan kesendirian dan sepih, aku berterima kasih kamu datang membawa kegembiran dan kebersamaan, tapi jika kau tinggalkan aku dalam sendiri dan sepih, aku hanya tersenyum karena telah terbiasa dengan itu.”

Inilah sebuah pernyataan yang sangat mudah dariku. Aku yakin, kalian dengan segala kepintaran yang dimiliki, pasti bisa memberikan aneka macam jawaban dan tanggapan. Dan semua dari kalian itu benar adanya.

Yang ingin kutegaskan kepadamu, “jika nanti aku diberikan Tuhan anak perempuan, aku akan mencurahkan segenap kemampuan diri untuk mendidiknya, agar dia memiliki pikiran yang jenih seperti air pegunungan, tegar seperti gunung batu, dan berperilaku harum dan bersih seperti melati.”

4 thoughts on “.., dengarlah untuk yang terakhir.

Leave a comment