Menakar Sepak Terjang MRP di Sektor Ekstraktif (Kasus LNG Tangguh)


Menurut masyarakat asli Papua yang tinggal di pinggiran-pinggiran kota, Majelis Rakyat Papua – MRP  hanyalah sebuah nama. Nama lembaga yang lahir karena orang Papua menerima otonomi khusus. Mengetahui fungsi dan tujuan lembaga ini bagi mereka, merupakan sesuatu yang mustahil. Bukan karena mereka tidak ingin tahu, tapi lembaga ini terkesan elitis dan wilayah jelajahnya hanya dari satu pertemuan ke pertemuan lain di kota saja. Bagaimana mengenal secara dekat anggota MRP? Cukup mereka puas hanya dengan mengetahui nama-nama anggota  MRP. Urusan wajah dan hasil kerja MRP pun,  cukup mereka tahu lewat cerita orang dan berita di surat kabar.

Dari cerita-cerita sambil lalu di kampung, masyarakat ingin mengetahui secara lebih dekat, apa sebenarnya MRP. Ada kerinduan yang mendalam ketika mereka menyebut dan atau mendengar nama MRP. Sebab bagi mereka, lembaga ini merupakan tempat menggantung harapan. MRP diartikan tidak hanya sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papu saja. Namun lebih dari itu, lembaga ini dipandang sebagai hasil perjuangan minimal untuk melindungi dan membebaskan orang asli Papua dari belenggu kesewenangan negara.

Institusi ini dalam kepala banyak orang kampung, ingin dijadikan sebagai rumah tempat berkeluh kesah, ketika laju pembangunan dan eksploitasi sumberdaya alam skala industri mengeluarkan mereka secara paksa dari tanah adat dan halaman rumahnya.

Ada penantian yang tak bertepi dari generasi tua di kampung, untuk mengenal lebih dekat anak-anak mereka yang duduk di lembaga ini. Mereka tidak ingin mengenal MRP hanya dari nama lembaga dan anggotanya. Tapi juga ingin melihat secara dekat wajah-wajah orang asli Papua yang beruntung bisa duduk di lembaga yang mulia ini, sembari menjabat tangan mereka sambil menumpahkan segala perasaan yang lama terpendam akan arti “bebas dan berdaulat”.

Lain daripada itu, kalangan orang asli Papua yang terpelajar menilai MRP mandul. Lembaga ini tidak bisa berbuat apa-apa sebagaimana yang diamanatkan undang-undang Otsus. Unsur keterwakilan adat, perempuan, dan agama hanyalah formalitas yang dibuat negara. Kalaupun ada sesuatu yang dilakukan MRP, itu lebih kepada hal-hal yang bersifat taktis, programatik, dan ikut meramaikan issu. Tapi terobosan strategis dengan memaksimalkan segala hak dan kewenangannya belum dilakukan. Intinya menurut mereka, gerakan MRP belum menyentuh substansi dari tiga prinsip dasar otsus yaitu menegaskan keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan bagi orang asli Papua.

Bertolak dari cerita-cerita lepas bersama masyarakat asli Papua di kampung-kampung pesisir Teluk Bintuni, saya ingin menggambarkan sebuah pertemuan formal bersama beberapa anggota MRP beberapa waktu yang lalu. Pertemuan itu berkenaan dengan lembaga ini mencermatit keberadaan salah satu industri pertambangan multi nasional – LNG Tangguh di Teluk Bintuni Papua.

Masih segar diingatan saya, ketika awal tahun 2009, sekitar lima orang anggota Majelis Rakyat Papua bertamu di kantor PERDU Foundation. Ketika itu saya sendiri dengan ditemani seorang teman menejer divisi Pendidikan dan Penyadaran Publik menerima mereka.

Ketika kami menanyakan tujuan mereka bertamu, jawaban yang diberikan adalah:

“Kami ingin berdiskusi dengan teman-teman LSM yang bekerja di wilayah Teluk Bintuni tentang dampak kehadiran LNG Tangguh – BP Indonesia.”

Sebuah jawaban yang mungkin jujur disampaikan oleh mereka, tapi dalam penilaianku, jawaban ini terkesan biasa-biasa saja. Tidak memberikan sesuatu yang berarti bagi kami. Apalagi pernyataan jawaban tersebut tidak menggambarkan raut wajah serius dan intonasi suara pun tidak menyiratkan adanya persoalan yang segera harus dibicarakan.

Oleh karenanya tidak mengherankan ketika kami bertanya lagi, “apa tujuan bapak dan ibu ingin mengetahui dampak kehadiran LNG Tangguh di Teluk Bintuni?”

Pimpinan tim mereka menjawab:

“Mungkin adik-adik LSM telah mendengar bahwa penjualan gas produksi Tangguh dijual dengan harga murah kepada negara pembeli (al, China). Kami pikir hal ini akan berimplikasi terhadap kesejahteraan orang Papua. Kami juga mendengar bahwa perusahaan ini dalam penerimaan tenaga kerja belum memberikan perhatian (keberpihakan) yang serius terhadap anak-anak Papua. Kami juga ingin mengetahui lebih jauh dampak sosial – budaya, ekonomi, dan lingkungan bagi masyarakat adat Papua di Teluk Bintuni.”

Anggota tim yang lain menambahkan:

“Kami ingin memastikan bahwa dalam melakukan pekerjaannya, perusahaan (BP Indonesia) taat kepada semangat UU Otsus. Terlalu banyak masalah bagi orang Papua, terutama dibidang pengelolaan sumberdaya alam. Kami juga ingin mengetahui langsung dari pihak BP dan pemda Teluk Bintuni tentang pembagian hasil penjualan gas alam. Termasuk komitmen-komitmen perusahaan yang telah dituangkan dalam dokumen Amdal.”

Berangkat dari pernyataan-pernyataan tersebut, kami menjelaskan dalam batasan tertentu tentang dampak kehadiran LNG Tangguh di wilayah Teluk Bintuni. Penjelasan tersebut mulai dari memaparkan kembali proses jual beli tanah seluas 3.266 oleh Pertamina yang merugikan masyarakat, karena tanah seluas itu hanya dihargai Rp 15,- / meter persegi menurut ketentuan SK Bupati TK II Manokwari No.213/1997. Akibat dari pembelian tanah tersebut, salah satu marga asli suku Simuri (marga Soway) kehilangan seluruh tanah adatnya, munculnya konflik horizontal antar masyarakat kampung Tanah Merah dan kampung Saengga, masyarakat kehilangan hak akses terhadap situs-situs adatnya, penyempitan wilayah kelola rakyat di laut (tempat menangkap udang) dan daratan (dusun sagu, tempat berburu dan lahan kebun). Nilai tanah yang sangat murah sampai saat ini masih menjadi pertanyaan masyarakat. Termasuk beberapa pertanya mendasar tentang status tanah paska beroperasinya perusahaan.

Informasi periode awal kehadiran LNG Tangguh di Teluk Bintuni yang kami sampaikan, terlihat ditulis oleh beberapa anggota tim. Pikiran kami harusnya informasi ini tidak perlu ditulis lagi. Sebab meskipun MRP baru terbentuk beberapa tahun lalu, tapi beberapa anggota-anggotanya pernah terlibat secara langsung dalam kegiatan proyek Tangguh. Mestinya kejadian tahun 2007 ini, pada tahun 2009 bukan menjadi rahasia tersendiri lagi.

“Kenapa tanah di Papua bisa dihargai hanya 15 rupiah,” lanjut mereka.

Pertanyaan ini kami tidak jawab. Sebab harusnya mereka-mereka yang duduk di MRP telah mengetahui dengan baik praktek-praktek pengambil-alihan tanah-tanah milik masyarakat adat Papua untuk tujuan investasi atas restu pemerintah. Kasus sepeti  ini marak terjadi di Papua. Dan kasus hilangnya tanah adat milik marga Simuna, Wayuri dan Soway di Teluk Bintuni, hanyalah merupakan kasus ke sekian ribu di Papua.

“Bagaimana dengan persoalan penerimaan tenaga kerja?”

“Sejak awal penerimaan tenaga kerja tahun 2003, mayoritas orang asli Papua yang berada di Teluk Bintuni selalu mengatakan LNG Tangguh adalah karunia dan berkat yang diberikan Tuhan untuk orang Papua,” demikian kalimat pembuka yang kami sampaikan. Persepsi orang Papua tentang perusahaan ini, coba kami sampaikan kepada mereka sebagai bahan refleksi. Sebab pesan pendek yang ingin kami sampaikan kepada mereka adalah: kenapa baru sekarang orang Papua (MRP) mempersoalkan kehadiran LNG Tangguh di Teluk Bintuni. Bukankan kasus terbesar yang menyangkut harkat dan martabat orang Papua telah terjadi pada tahun 2007, yaitu perampasan tanah adat suku Simuri oleh Pertamina dengan bermodalkan SK Bupati Manokwari.

“Informasi yang kami dapat, perusahaan lebih banyak menerima tenaga kerja untuk konstruksi kilang dari luar Papua. Alasan yang diberikan perusahaan adalah sumberdaya manusia orang Papua belum siap.”

Persoalan ini lebih pas kalau dijawab oleh pemerintah daerah lewat Dinas Tenaga Kerja. Sebab meskipun kami konsern untuk mencermati Tangguh, tapi kami juga memberikan batasan advokasi. Persoalan perekrutan tenaga kerja menurut kami merupakan aspek terkecil dari dari bangun yang paling besar yaitu komitmen perusahaan untuk memberdayakan orang asli Papua. Bukan persoalan angka berapa orang Papua yang terlibat dalam konstruksi kilang. Kami menyadari bahwa perusahaan ini padat modal, sarat kepentingan, dan penerapan teknologi tinggi, maka keliru kalau MRP hanya berfokus pada persoalan angka tenaga kerja saja.

“Mungkin kami tidak terlalu mempersoalkan jumlah tenaga kerja. Tapi kami mengetahui secara baik bahwa tenaga kerja orang asli Papua hanya diposisikan sebagai tenaga lapangan, kecuali beberapa anak Papua yang memiliki keahlian lebih. Persoalan yang paling penting menurut kami adalah, migrasi penduduk yang sangat besar dari luar Papua ke Teluk Bintuni. Salah satunya adalah karena lapangan kerja. Begitu pun juga pada beberapa kampung di sekitar LNG Site, kami menemukan beberapa persoalan menyangkut hak-hak hidup orang Papua:

  1. Karena perusahaan mensyaratkan penerimaan tenaga kerja lokal diutamakan berasal dari 9 daerah terkena dampak langsung, maka banyak tenaga kerja dari luar Papua lebih memilih masuk ke Teluk Bintuni dan tinggal bersama masyarakat di sembilan daerah tersebut. Dalam perkembangannya, masyarakat-masyarakat pendatang kemudian menggunakan marga-marga asli Papua sebagai marganya atas ijin masyarakat asli Papua. Kasus kampung Tanah Merah adalah yang terbanyak
  2. Karyawan perusahaan asal luar Papua yang telah habis masa kontrak kerjanya, lebih memilih tinggal di kampung-kampung sekitar LNG Site. Hal ini menyebabkan terjadinya perluasan lahan pemukiman di kampung, asimilasi budaya, dan perebutan wilayah-wilayah mencari dengan warga asli Papua
  3. Implikasi persoalan 1 dan 2, karena tenaga kerja dari luar semuanya laki-laki dewasa, maka kasus-kasus pelecehan seksual terhadap perempuan-perempuan Papua warga kampung banyak terjadi. Kasus Babo, Bintuni,  Tanah Merah, dan Tofoy.
  4. Jumlah eks tenaga kerja LNG Tangguh yang hampir sebanding dengan jumlah penduduk warga lokal, maka terjadi dominasi kuasa warga pendatang terhadap warga pribumi. Kasus penyerangan Sekretaris Kampung Tanah Merah oleh warga Ambon, dan kasus Babo (dominasi anggota ojek asal Bugis – Makasar)
  5. Pengambil-alihan mata pencarian penduduk lokal oleh eks karyawan perusahaan pada sektor perikanan, pemasaran hasil pertanian, jasa ojek dan becak, padagang sembako dan kelontongan, bahan bakar minyak, dan transportasi lokal antar kampung
  6. Heterogenitas warga, asimilasi kebudayaan, dan perebuatan wilayah pemanfaatan, ke depan apabila tidak dikelola dengan baik oleh pemerintah dapat menimbulkan konflik antar sesama warga. Issu agama (Islam dan Kristen) dan suku (pendatang dan Papua) akan dijadikan alat rekayasa oleh masing-masing kelompok warga untuk mempertahankan identitasnya.

Kami menjelaskan masalah tenaga kerja tidak pada urusan angka dan atau proporsi besaran statistik sebagaimana yang dimaksud MRP, tapi berdasarkan implikasi riil yang terjadi di Teluk Bintuni. Menurut kami, hal-hal inilah yang harus menjadi pergulatan MRP sesuai dengan fungsi dan tujuan kehadirannya bagi orang asli Papua. Urusan statistik tenaga kerja asli Papua, MRP harusnya menariknya dalam konteks yang lebih besar, yaitu komitmen pemberdayaan (sistem peningkatan SDM Papua) oleh perusahaan dan pemerintah.

Untuk masalah sosial dan ekonomi, kami menambahkan perlunya penegasan BP Indonesia dan pemerintah daerah dalam tindakan nyata bagi penyiapan generasi muda orang Papua yang memiliki kemampuan bersaing yang tinggi terhadap perubahan ruang hidupnya (aspek pendidikan – ketrampilan, kesehatan, perlindungan dan keadilan hukum, dan ekonomi keluarga). Termasuk di dalamnya kesempatan untuk menduduki posisi-posisi penentu di manajemen LNG Tangguh

Jawaban yang kami sampaikan, seperti tidak menarik untuk tim MRP. Pertanyaan berikut dari mereka yang muncul adalah:

“Bagaimana pendapat adik-adik tentang bagi hasil penjualan gas dari LNG Tangguh?”

Jawaban kami singkat saja, “Undang-undang negara telah mengatur itu –> UU Otsus. Urusan penerapan amanat undang-undang tersebut, tergantung komitmen dan kerja keras seluruh orang Papua. Negara tidak bisa diharapkan untuk bertindak adil dan berpihak untuk orang asli Papua.” Kami juga menambahkan, “meskipun Otsus menegaskan keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan untuk orang Papua, tapi bapak dan ibu juga harus mempelajari undang-undang pertambangan dan penanaman modal. Oleh karenanya produk turunan dari UU Otsus, Perdasus / Perdasi harus segera dibuat.”

Dalam diskusi ini, tim dari MRP juga membicarakan sewa pakai tanah dan penyertaan modal / saham masyarakat dalam proyek LNG. Tapi menyampaikan bahwa undang-undang pertambangan minyak dan gas tidak mengamanatkan itu.

Menanggapi pernyataan kami, mereka mengusulkan penting untuk dilakukan class action bagi kasus-kasus LNG Tangguh (masalah pembelian tanah untuk lokasi kilang) dan usul amandeman undang-undang pertambangan.

Pernyataan mereka dalam pandangan kami sah-sah saja. Usul itu merupakan hak setiap warga negara, apabila merasakan kebijakan negara lebih merugikan rakyatnya.

Pada akhir diskusi, seorang ibu anggota MRP bertanya:

“Bagaimana dengan kondisi sagu sebagai makanan asli orang Papua? Apakah mengalami kerusakan akibat kegiatan-kegiatan proyek LNG?”

Untuk saat ini, kerusakan lingkungan akibat proyek LNG belum terlalu dirasakan. Kecuali lahan seluas 3000 hektar untuk lokasi kilang dan pemukiman kembali warga kampung Tanah Merah. Pertambangan gas berbeda dengan pertambangan umum lainnya seperti bahan galian (emas, tembaga, batubara, dsb) yang bersifat pertambangan terbuka. Dengan hanya memiliki dua train dan dua rig lepas pantai, kasus-kasus pencemaran lingkungan belum terlihat, kecuali sisa tumpahan minyak ke badan air (laut) dan buangan material lain.

Saat ini, sagu tidak bisa lagi dijadikan sebagai identitas tunggal sumber pangan utama orang asli Papua. Sebab perubahan-perubahan besar yang terjadi di wilayah sekitar LNG Site, telah menggambarkan secara jelas bahwa sagu bagi masyarakat Teluk Bintuni merupakan pelengkap beras. Bukan sebaliknya. Kondisi seperti ini kemudian juga ikut diperparah dengan program beras miskin – Raskin yang terus dipasok pemerintah kepada masyarakat di kampung-kampung setiap bulan. Dan salah satu sebab takluknya mayarakat kampung terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah ini adalah kebutuhan akan beras.

Oleh karena kebutuhan tahun 2007 PERDU pernah melakukan penelitian tentang ketahanan pangan lokal, maka kami tidak secara langsung memberikan jawaban. Tapi jawaban kami sebenarnya ingin memberikan gambaran terhadap anggota MRP tentang potensi sagu di daerah ini.

Perlu diketahui, potensi hutan sagu alam di kawasan ini mencapai luas 300.000 ha, atau setara dengan 33.30 % dari total sebaran luas hutan sagu Papua 900.980 ha. Artinya bahwa kalau sagu masih tetap menjadi sumber pangan utama orang asli Papua di Teluk Bintuni, maka potensi luasan ini jika dimanfaatkan secara baik, bisa menjamin ketersediaan pangan dan peningkatan ekonomi keluarga orang Papua. Pertanyaannya, kenapa keberadaan sagu hanya dilihat dari aspek simbol identitas kultural dan kemungkinan kerusakan akibat proyek LNG TAngguh. Bagaimana dengan urusan pemanfaatan untuk peningkatan ketahanan pangan lokal dan ekonomi keluarga?

Berbicara potensi sagu, MRP belum menyinggung dua aspek yang terakhir tentang pemanfaatan untuk peningkatan ketahanan pangan lokal dan ekonomi keluarga orang Papua. Kami masih ingat dengan baik kasus kebakaran hutan sagu di tahun 2007 di Taroy – Sebyar dan kematian 48 bayi di Weriagar dan Mogutira. Untuk kedua kasus ini, pihak BP Indonesia dan Pemda Provinsi Irian Jaya (dulu) membayar kompensasi sebesar 3,9 milyar kepada masyarakat Sebyar ( suku Kamberan dan Ndamban).

Sampai diskusi ditutup pun, kami belum jelas tujuan pertanyaan tentang “keberadaan sagu” di wilayah Teluk Bintuni.

Pada akhir diskusi, pihak MRP berjanji sekembalinya dari kunjungan mereka ke Teluk Bintuni (Pemda kabupaten Teluk Bintuni dan LNG Site) mereka akan bertemu lagi dengan dengan PERDU. Tapi sayangnya janji tersebut tidak sempat terwujud, karena tim MRP langsung pulang ke Jayapura sekembalinya dari Teluk Bintuni.

Dalam sesi diskusi informal internal PERDU, saya secara pribadi masih mempertanyakan keseriusan MRP melihat kasus-kasus pengelolaan sumberdaya alam di Papua. Begitupun juga dengan posisi keberpihakan dan sepak terjang mereka memperjuangkan martabat orang asli Papua. Juga strategi perjuangan secara kelembagaan.

Jika kemarin di Jayapura pada tanggal 18 Juli 2009, salah satu anggota MRP dari Pokja perempuan mengatakan, “kami MRP ibarat dilepas di hutan rimba. Akibatnya kami bingung, bagaimana mencari jalan keluar. Kami dibiarkan tersesat!.”

Apakah memang lembaga ini dibiarkan tersesat. Apa yang melatarbelakangi MRP tersesat di dalam rimba belantara komunitasnya sendiri.  Siapa yang membiarkan mereka tersesat. Ataukah lembaga ini tanpa sadar telah menyesatkan diri sendiri?

Berdasarkan beberapa informasi (perlu penelusuran kebenaran) dari masyarakat di Bintuni, tim MRP belum berhasil meyakinkan menejemen LNG Tangguh untuk bisa memasuki LNG Site dan berdiskusi di dalam dengan staf dan karyawan perusahaan. Apakah semangat memperjuangkat harkat dan martabat orang Papua oleh MRP hanya menguat dalam wacana, tapi melemah dalam aksi? Bagaimana MRP dapat melindungi dan memperjuangkan hak-hak orang Papua, sedangkan posisi tawarnya sendiri terhadap orang luar masih lemah.

MRP tidak hanya lemah karena desain sistem yang dibuat negara. Tapi anggota-anggota MRP secara mayoritas masih jauh menangkap pesan dari realitas kehidupan orang asli Papua. Dibutuhkan suatu akselarasi daya kritis dan pemahaman yang menyeluruh dari setiap anggotanya dalam menganalisa konteks lokal, nasional, dan regional, dan dunia bagi perjuangan politik orang Papua. Kasus LNG Tangguh bisa dijadikan contoh bagaimana anggota-anggota lembaga ini melihat persoalan orang Papua secara parsial saja.

Memang untuk menjadi anggota MRP, kata beberapa teman, seseorang tidak hanya  dituntun secara kultural berasal dari salah satu suku asli Papua. Atau tidak hanya memahami kondisi Papua saja. Tapi lebih dari itu, harus memahami dalam tataran idiologi, ke arah mana hak-hak orang asli Papua harus diperjuangkan.

5 thoughts on “Menakar Sepak Terjang MRP di Sektor Ekstraktif (Kasus LNG Tangguh)

  1. mantap….greenintia…masih ada lainnya…? MRP memang sadar tertunda…!!! Bahkan sudah tau masalah, tapi bikin diri tra tau…!!!

  2. Rakyat kecil memang paling enak untuk ” diatas namakan “.
    Yg lucunya..MRP sendiri kerap di atas namakan oleh kelompok dan orang-orang yang punya kepentingan thp Jakarta.

  3. Pingback: web page

Leave a reply to sancapapuana Cancel reply