MENYUSUI dalam pandangan Syar’i


Bissmillahirrohmaanirrohim.

Bunga-MelatiPuji dan syukur hanya pantas disampaikan kepada Allah Azza wa Jalla,  Dialah Tuhan Yang Esa, Sang Pemilik Kebenaran. Salam sejahterah semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Saw.

Baru kemarin saya mendapat inbox dari seorang sahabat muslimah tentang “hukum menyusui anak” dalam Islam. Saya telah memberikan pendapat tentang hal tersebut berdasarkan pemahaman saya dengan mengemukakan beberapa sumber hukum Islam, Al Qur’an dan Hadist. Namun sayangnya, penjelasan saya yang relatif panjang, tidak terkirim semuanya. Olehnya, saya merasa perlu menuliskannya kembali.

Tulisan ini tidak akan membahas menyusui dan penyusuan secara terperinci. Hal-hal mendasar yang akan saya kemukakan, lebih pada membangun kesadaran pribadi bagi seorang ibu, memahami tanggungjawab menyusui anak secara maknawi, dan pandangan menyusui – persusuan menurut hukum syar’i – Islam.

Menyusui

Islam adalah agama sempurna. Kesempurnaan itu salah satunya dibuktikan dengan nilai dan prinsip (ajaran dan hukum) yang ditetapkan Islam untuk mengatur kehidupan umatnya. Mulai dari kehidupan seseorang dengan Tuhan-nya (Ibadah), kehidupan dirinya dengan orang lain (Muamalah), kehidupan dirinya dengan alam sekitar, hingga kehidupan dirinya sendiri.

Menyusui anak (Radha’ah) adalah salah satu kodrat perempuan, selain haid, mengandung, dan melahirkan. Semua perempuan normal pasti memiliki dan merasakan kodrat ini. Pada kodrat inilah cinta – kasih sayang dan perlindungan seorang perempuan – dan sebagai seorang ibu kepada anaknya terbentuk. Di dalam organ-organ reproduksinya, Allah Swt. meletakkan kehormatan dan kemuliaan perempuan. Oleh karenanya perempuan – seorang ibu yang bisa menjaga baik organ-organ reproduksinya sesuai dengan perintah Allah Swt. dan Rasulullah Saw. maka kemuliaan diri dan surga menjadi miliknya.

Terlepas dari alasan kesehatan, anak tidak mau disusui ibunya, dan alasan lain yang dibenarkan secara syar’i, seorang ibu harus menyusui anaknya. Sedangkan tujuan lain yang mengandung motivasi nafsu duniawi dan syahwat, seperti menjaga kecantikan dan kebagusan bentuk tubuh (payudara) untuk menarik perhatian oleh lawan jenis, dsb. adalah alasan yang dilarang secara syar’i. Jaman sekarang, alasan ini kebanyakan menjadikan seorang ibu tidak mau menyusui anaknya. Selain itu, ada juga alasan lain seperti urusan kerja di luar rumah dan kesibukan kerja – tidak punya waktu.

Ketika seorang perempuan dan lelaki disatukan oleh Islam (menikah) dan dikumpulkan bersama (berkeluarga), maka masing-masing pihak memikul beban tanggungjawab untuk membangun rumah tangga yang shalihah. Ada kewajiban dari keduanya yang harus dipenuhi masing-masing. Suami – ayah antara lain berkewajiban menafkahi anak istrinya dengan menyediakan kebutuhan pangan – sandang – dan tempat berlindung, sedangkan istri – ibu menafkahi anaknya salah satunya dengan cara memberikan air susunya kepada anaknya.

Tanggungjawab menafkahi keluarga, tidak boleh diartikan sebagai pemenuhan kewajiban semata. Atau memenuhi hak anak dalam pengertian terpenuhi dan tercukupinya kebutuhan makan dan minum. Tetapi lebih mendalam adalah bentuk peribadatan kepada Allah Swt. dan mensyukuri nikmat dari-Nya.

 Jika demikian seperti di atas, lalu bagaimana dengan seorang ibu yang menyerahkan anaknya untuk disusui orang lain tanpa alasan yang perbolehkan secara syar’i? Sudah menjadi rahasia umum, banyak perempuan lebih memilih menyusukan anaknya dengan susu buatan pabrik, dibanding memberikan air susunya sendiri. Ada juga yang meminta (membayar) orang lain untuk menyusui anaknya. Perilaku ini membuktikan lemahnya kesadaran dan tanggungjawab dari seorang ibu. Organ reproduksinya serta manfaatnya yang telah diberikan oleh Allah Swt., telah berganti nilai dan tujuan. Dari yang semula menjadi sumber kemuliaan dan kehormatan diri, dari yang bernilai ibadah dan bertujuan memperoleh ridha Ilahi, kepada kepentingan selainnya. Kondisi seperti ini marak terjadi di masyarakat perkotaan, banyak dilakukan oleh perempuan yang tidak pandai membagi perhatiannya, antara kepentingan karir – pekerjaan kantoran dengan peran sebagai ibu.

Karena menyusui anak adalah suatu bentuk peribadatan kepada Allah Swt. maka Allah Swt. menyediakan pahala dan kemulian bagi perempuan – ibu yang melakukannya. Kenapa Allah Swt. memberikan pahala dan kemuliaan? Karena menyusui adalah tanggungjawab yang melelahkan dan membutuhkan energi dan kesungguhan – keikhlasan yang besar. Ini sama halnya seperti rasa sakit saat haid, mengandung, dan melahirkan. Seluruh beban diri yang menimpa perempuan akibat kodrat keperempuanannya, Allah Swt. gantikan dengan pahala dan rahmat dari-Nya.

Menyusui anak dengan tujuan beribadah, mengandung unsur pendidikan – pembinaan (Tarbiyah). Di dalamnya terdapat nilai-nilai ketaatan dan perbaikan keimanan kepada Allah Swt (Tarbiyah Ruhiyah), dan pembinaan diri sendiri berdasarkan diri sendiri (Tarbiyah Dzatiyah).

Seorang ibu – muslimah yang menyusui anaknya, secara sadar pasti menjaga dirinya untuk tidak mengkonsumsi makanan – minuman yang haram secara sifat dan materi serta cara memperolehnya. Sebab ia tahu bahwa air susunya berasal dari apa yang ia makan dan minum setiap hari, akan dimakan – diminum pula oleh anaknya sendiri. Bila ia memakan makanan dan minuman haram, maka anaknya pun akan memakan dan meminum yang haram. Ia menjaga kebersihan dan kesehatan payudaranya, karena ia mengerti bahwa payudaranya ibarat piring dan gelas bagi anaknya. Setiap saat ia bertamu kepada Allah Swt. – ia senantiasa berdoa dan memohon diberikan kesehatan dan keselamatan. Ia pun selalu meminta kepada Allah Swt. agar diberikan air susu yang banyak dan mengenyangkan anaknya. Kehalalan air susu dan kebersihan – kesehatan payudara menjadi idamannya, karena ia berniat memberikan nafkah terbaik bagi anaknya dan semata-mata mengharapkan keridhaan Allah Swt.

Penjelasan ini memberikan pesan kepada setiap ibu, bahwa menyusui anak bukanlah perkara sederhana. Bahwa merawat dan menjaga kehormatan organ menyusuinya – payudara, bukan sekedar urusan kebersihan diri dan kesehatan semata. Tetapi lebih dari itu, ini merupakan persoalan kesadaran membangun fondasi pendidikan anak sejak usia dini dan perbaikan diri sendiri. Karena di dalamnya, seorang ibu menanamkan kecintaan dan tanggungjawab dirinya kepada anaknya dan membangun kedekatan emosi anaknya dengan dirinya. Suatu hubungan komunikasi dalam bahasa perasaan yang hanya bisa dimengerti oleh ibu dan anaknya saja. Dalam lain hal, menyusui adalah bentuk lain dari mengenalkan nikmat dan rezeki kepada anak dalam bahasa perilaku yang sesuai usia anak.

Ibu yang menyusui anaknya dengan tujuan beribadah, maka Allah Swt akan memberikan rahmat dan kasih sayang kepada kehidupan anaknya. Allah Swt. akan menanamkan kecintaan anak kepada ibunya, dan memberikan kesadaran kepada anak di usia dewasa untuk menghormati dan menghargai jasa dan jeri payah ibunya. Anak menjadi terpaut hatinya dengan Tuhan-nya, dan pandai mensyukuri nikmat. Hal ini telah singgung oleh Al-Mawardi dalam kitabnya “Nashihah al-Muluk:

“Umar RA pernah berkata kepada istrinya yang sedang menyusui anaknya, ‘Janganlah kamu menyusui anak seperti hewan, sebab hewan hanya menyusui karena perasaan sayangnya dan instingnya saja, namun susuilah anakmu dalam rangka mencari pahala dari Allah dan agar bayi tersebut hidup sehingga nanti akan menjadi hamba yang menyembah kepada Allah dan mentauhidkan-Nya.’”

Allah Swt menganjurkan kepada kaum ibu untuk menyusui anaknya selama dua tahu secara sempurna. Maksud dibalik penetapan waktu menyusui, memiliki pelajaran penting bagi anak dan ibunya. Dua tahun masa bayi adalah fase dimana seorang anak membutuhkan kedekatan emosi dengan ibunya. Suatu fase dimana seorang anak mulai belajar mengenal keluarganya dan lingkungannya. Inilah fase terpenting dalam proses kehidupan seorang anak manusia, karena di dalamnya, seorang anak manusia belajar dan berkenalan langsung dengan salah satu fitrah utamanya selain bertauhid – mengenal Allah Swt, yaitu bahwa ia diciptakan dengan memiliki sifat dasar: dicintai dan mencintai (ar-Rahmaan dan ar-Rahiim). Dengan menyusui anak secara langsung, tanpa sadar, seorang ibu telah mengajarkan dan mendidik anaknya mengenal cinta dan kasih sayang. Di sinilah sebenarnya pesan bijak dari Rasulullah Saw. dan para ulama, “bahwa ibu adalah madrazah pertama bagi anaknya” bersumber. Sebab makna madrazah – sekolah yang dimaksudkan adalah memperkenalkan anak manusia tentang sifat utama Allah Swt.: Allah Maha Esa dan Maha Ada, oleh karenanya Ia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Mengenai fase menyusui anak selama masa dua tahun lamanya, Allah Swt. telah menyatakan di dalam Al Qur’an:

“Para ibu hendaknya menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya.” (QS. Al-Baqarah : 233).

Demikian bijaksanannya Allah Swt, hingga Ia tidak mewajibkan secara tegas menyusui anak sebagai bentuk kewajiban mutlak bagi seorang ibu. Karena Allah Maha Mengetahui, bahwa ada sebab lain yang bisa membuat seorang ibu tidak bisa menyusui anaknya. Seperti sebab penyakit, meninggal dunia, keadaan hamil, kesempatan, dsb.

Khusus untuk tidak boleh menyusui anak pada waktu hamil, di dalam hadistnya, Rasulullah Saw. mengandaikan seorang ibu yang secara sengaja menyusui anaknya sebagai tindakan pembunuhan secara tidak langsung. Pesan ini lebih mengedepankan aspek kesehatan dari air susu seorang ibu yang sedang hamil:

“Dari Asma’ binti Yazid, ‘janganlah di antara kalian membunuh anak secara terselubung, demi dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya air susu pada waktu hamil akan merusak ksatria dan melemparkan(nya) dari kuda.’” (Hadist Hasan dari HR. Abu Daud).

Sebab lain seperti yang telah disinggung sebelumnya, yang membuat seorang ibu beralasan tidak menyusui anaknya, maka sang ibu telah melakukan pengingkaran akan kodratnya, tidak memenuhi kewajibannya memberi nafkah, tidak mensyukuri nikmat, maka ia berdosa.

Untuk seorang ibu yang secara sengaja, tanpa memenuhi alasan syar’i, tidak menyusui anak kandungnya, maka Allah Swt melaknatnya. Rasulullah Saw telah bersabda:

“Kemudian Malaikat itu mengajakku melanjutkan perjalanan, tiba-tiba aku melihat beberapa wanita yang payudaranya dicabik-cabik ular yang ganas. Aku bertanya: ‘Kenapa mereka?’ Malaikat itu menjawab: ‘Mereka adalah para wanita yang tidak mau menyusui anak-anaknya (tanpa alasan syar’i)’.”(Dari Abu Umamah dalam Shahihnya Ibnu Hibban).

Kewajiban menyusui anak, tetap melekat pada diri seorang ibu. Bila terjadi perceraian, atau istri mendapat talak dari suaminya, ia tetap berkewajiban menyusui anaknya. Hal ini telah dinyatakan di dalam Al Qur’an:

“Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (QS. Ali Imran : 233).

 

Persusuan

Islam adalah agama yang bijaksana dalam batasan logika dan hukum (syar’i). Demikian tingginya Islam memuliakan derajat perempuan, hingga agama ini menyediakan jalan keluar – solusi  untuk menjawab masalah-masalah yang dihadapi perempuan karena kodrat yang melekat pada dirinya.

Meskipun menyusui anak adalah sebuah kewajiban dari seorang ibu kepada anaknya, tapi dengan kelembutan dan kebijaksanaan-Nya, Allah memerintahkan hal itu dalam bahasa ajakan – mengajak. Dan Allah Swt tidak menjelaskan secara tersurat dalam Al Qur’an tentang akibat – balasan pengingkaran perempuan terhadap kewajibannya.

Apakah menurut syar’i, seorang anak boleh disusui oleh perempuan lain? Atau apakah seorang anak boleh disusui oleh perempuan yang tidak memiliki hubungan pertalian darah dengannya? Jawabannya, boleh! Sudah tentu mengikuti hukum syar’i; dan diusahakan semampunya tidak memberikan anak untuk disusui perempuan yang bukan seagama. Untuk alasan terakhir, lebih dikarenakan Islam melarang umatnya mengkonsumsi makanan dan minuman yang haram. Tetapi dalam kondisi tertentu, seperti tidak ada pilihan lain, maka boleh disusui oleh perempuan yang bukan seagama.

Karena sebab dan alasan syar’i seorang ibu tidak bisa menyusui anaknya, maka ia boleh menyerahkan atau mengijinkan anaknya di susui oleh perempuan lain. Baik itu kepada perempuan yang masing memiliki hubungan keluarga – pertalian darah dengannya dan tidak. Aturan syar’i ini memberikan gambaran kepada kita secara tegas, bahwa Islam mengutamakan nilai cinta – kasih sayang dan membangun silaturrahmi semata-mata mengharapkan keridhaan Allah Swt.

Menyerahkan anak kepada perempuan lain untuk disusui telah ada dalam sejarah Islam. Kisah ini bisa kita pelajari dan petik hikmahnya dari kehidupan dua orang kekasih (rasul) Allah Swt. Yaitu Musa As dan Muhammad Saw. Di dalam Al Qur’an tergambar jelas sejarah ini:

“Dan Kami cegah Musa dari menyusui kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui (nya).” (QS. An-Nisa’ : 23).

 “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?” (QS. Adh-Dhuha : 6).

Ayat pertama menjelaskan tentang keinginan perempuan-perempuan (pembantu – dayang-dayang) dari istri Fir’aun yang hendak menyusui Musa As. karena mengasihinya, tapi Allah memilih perempuan lain. Ayat kedua menjelaskan tentang kehidupan masa bayi Rasulullah Saw yang disusui oleh Halimah Sa’diah dari Bani Sa’ad.

Bila Allah tidak mengijinkan seorang anak disusui oleh perempuan yang bukan ibu kandungnya dan keluarga dekatnya, maka Ia akan berkehendak lain. Artinya, Allah Swt tidak akan menyatakan kehendak-Nya agar dua orang rasul-Nya disusui oleh perempuan yang bukan ibu kandung dan keluarganya.

Oleh sebab itu, Allah Swt memberikan beberapa aturan hukum (Syar’i) tentang hal ini:

“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.” (QS. An-Nisa’ : 23).

“….dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS. Ath-Thalaq : 6).

Kedua ayat di atas menjelaskan: bahwa suatu keluarga boleh memberikan anaknya disusui oleh perempuan lain asalkan ia memberikan pembayaran yang pantas – patut. Tujuan pembayaran bukan sebagai upah dan gaji. Atau menjadikan ibu persusuan berstatus pekerja – tenaga kerja. Ayat yang kedua menjelaskan tentang kesulitan-kesulitan yang dialami seorang ibu dalam menyusui anaknya, hingga ia boleh menyerahkan anaknya disusui oleh perempuan lain. Sekali lagi, kedua ayat ini mengandung nilai dan prinsip secara syar’i.

Bagaimana dengan anak yang diangkat (diadopsi) oleh keluarga lain, apakah ibu kandungnya masih boleh menyusui anaknya? Jawabannya, boleh. Tetapi jika ia memiliki kesulitan untuk menyusui anaknya (karena faktor kejauhan jarak, berbeda kota tempat tinggal, dsb), maka ibu angkatnya boleh menyusuinya. Sudah tentu ibu angkat boleh menyusuinya (menjadi ibu persusuan) atas ijin dan keridhaan suaminya – ayah angkat.

Saya sedikit menyinggung soal status hubungan secara syar’i anak yang diangkat (diadopsi) oleh keluarga angkatnya. Anak ini tetap mengikuti garis keturunan/marga/nama – nashab ayah kandungnya, bukan ayah angkatnya. Bila ia tidak memperoleh persusuan dari ibu angkatnya (tidak menjadi ibu persusuan – murdhi’ah), maka ia tidak terikat hukum mahram (boleh menikahi ibu angkatnya dan saudara angkatnya). Tapi bila ibu angkatnya sekaligus juga menjadi ibu persusuannya – murdhi’ah, maka ia terkena hukum mahram (tidak boleh dinikahi).

Anak angkat yang terikat mahram karena sebab persusuan dari ibu angkatnya – murdhi’ah, berdasarkan hukum syar’i, ia tidak boleh menikahi – dinikahi salah satu keluarga angkatnya satu tingkat ke atas – dan ke bawah, serta satu garis sejajar dari ayah dan ibu persusuannya. Secara rinci, penjelasannya sebagai berikut: Perempuan yang menyusui (murdhi’ah), suami ibu susuan, ibu bapak dari murdhi’ah/ibu susuan, ibu bapak dari suami ibu susuan, adik beradik dari ibu susuan, adik beradik dari bapak susuan, anak-anak dari ibu dan bapa susuan, anak-anak dari ibu susuan, dan anak-anak dari bapak susuan.

Islam menetapkan aturan tentang hal ini. Yaitu syarat-syarat seorang anak persusuan (radhi’) terikat sebagai mahram dengan ibu persusuannya (murdhi’ah), yaitu: Ada air susu yang sehat dari seorang ibu – perempuan, air susu yang diminum bayi masuk ke dalam perutnya, dan bayi belum berusia dua tahun. Sedangkan rukun persusuannya, yaitu: ada anak yang menyusu (tidak dengan perantaraan alat, botol susu, gelas, dll), perempuan yang menyusui (sehat, sadar dan ikhlas menyusui), dan kadar isapan bayi lebih dari tiga kali isapan.

Untuk kasus di atas (adopsi), banyak keluarga muslim yang menggantikan nashab anak angkatnya mengikuti nashab-nya. Padahal hal seperti itu sangat dilarang oleh Islam. Sebab Islam sangat menghormati pertalian darah secara langsung dari seorang anak, dan juga penghormatan terhadap ibu bapak kandung.

Akhirnya, semoga tulisan sederhana ini memberikan manfaat kepada kita semua atas ijin dan keridhaan Allah Swt.

Billahi Taufiq wal Hidayah. Wassalam.

 

(Dari KAETARO untuk Sahabat).

———————————————-

Sumber gambar: http://www.inagurasi.com

Leave a comment